Cari Blog Ini

Sabtu, 13 Oktober 2012

Seperti konsep “Manufacturing Hope” nya pak Dahlan Iskan, seperti itulah reformasi mendidik perlu dilakukan,,



Manufacturing Hope adalah sebuah rubrik mingguan yang terbit setiap hari Senin pada harian Jawa Pos yang ditulis oleh Dahlan Iskan, sebagai salah satu cara beliau mengungkapkan ide-idenya untuk memperbaiki keterpurukan instansi-instansi plat merah –sebut saja BUMN- melalui pengoptimalan sisi positifnya.

Setelah kurang lebih 1 tahun menjalani profesi sebagai guru, terimage sebagi guru yang selalu berurusan dengan anak-anak ‘nakal’ ternyata memberi banyak pelajaran. Pelajaran yang tidak pernah saya dapat selama menempuh pendidikan formal di sekolah maupun di perguruan tinggi. Secara lebih terbuka dan apa adanya, mereka mengajari bagaimana saya harus bersikap menghadapi anak-anak, menghadapi orang dewasa, sekaligus menghadapi di antara keduanya, tentu saja remaja.
Sangat disayangkan pada fase usia ini mereka justru mendapat pelabelan yang kurang tepat, yang tentu saja sangat berpengaruh pada perkembangan mentalnya. Mereka dibilang ‘nakal’, ‘tidak bisa diatur’, ‘selalu membuat masalah’ dan lain sebagainya yang menurut saya pelabelan itu lah yang sebenarnya menggerakkan mereka untuk berbuat sesuai pelabelan mereka. Sebagai contoh pelabelan, Jika mereka lemah di pelajaran matematika dan bahasa Inggris apakah mereka “bodoh”?
Melalui konsep “Manufacturing Hope” ini, saya terinspirasi untuk menghilangkan label-label yang terlanjur menempel tersebut. Bahwa ada dua cara untuk bisa memperbaiki keadaan yang terlanjur kurang tepat, yaitu dengan memarahi atau memberi motivasi. Kalau selama ini dengan menerapkan cara memarahi belum juga bisa merubah keadaan menjadi lebih baik, mengapa tidak mencoba cara yang kedua? Sebab memarahi dan mengadili secara sepihak bukanlah solusi, justru berkecenderungan untuk memunculkan masalah-masalah baru.
Mereka, anak-anakku, sebenarnya hanya butuh didengarkan. Terima meraka apa adanya, lalu dengarkan semua yang mereka ceritakan, sekali lagi jangan terburu menghakimi mereka. Pengalaman saya, dengan mau mendengarkan dan menerima perasaan-perasaan mereka insyaAllah menjadi lebih mudah juga mereka menerima masukan dari kita. Dari sini kita bisa memulai dengan membesarkan hati mereka bahwa setiap individu itu unik, diciptakan dengan kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Lalu tanyakan kepada mereka tentang apa yang paling mereka sukai, saya bertanya:
“Wildan, kamu suka basket?”, “iya, Bu. Suka sekali..”, “Baik, saya tunggu kamu jadi atlet basket Nasional”
“Bagus, apa cita-citamu?”, “Pengen menjadi guru, Bu”, “Oke, saya tunggu kamu ada di Kementrian pendidikan dan kebudayaan dengan gagasan-gagasanmu tentang pendidikan yang lebih memanusiakan manusia!”
Kenyataannya, dengan cara seperti itu saya lebih mudah dalam mengendalikan mereka. So, masihkah kita melabeli ‘bodoh’ mereka yang lemah di pelajaran matematika dan bahasa Inggris namun berpotensi pada bidang olah raga basket? Sekali lagi dengarkan mereka, ketahui apa keinginannya, lalu bantu mereka menemukan dan menoptimalkan keunikan kemampuannya -baca bakatnya-

Terima kasih anak-anakku... 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar