Manufacturing
Hope adalah sebuah rubrik mingguan
yang terbit setiap hari Senin pada harian Jawa Pos yang ditulis oleh Dahlan
Iskan, sebagai salah satu cara beliau mengungkapkan ide-idenya untuk
memperbaiki keterpurukan instansi-instansi plat merah –sebut saja BUMN- melalui
pengoptimalan sisi positifnya.
Setelah kurang lebih 1 tahun menjalani
profesi sebagai guru, terimage sebagi
guru yang selalu berurusan dengan anak-anak ‘nakal’ ternyata memberi banyak
pelajaran. Pelajaran yang tidak pernah saya dapat selama menempuh pendidikan
formal di sekolah maupun di perguruan tinggi. Secara lebih terbuka dan apa
adanya, mereka mengajari bagaimana saya harus bersikap menghadapi anak-anak,
menghadapi orang dewasa, sekaligus menghadapi di antara keduanya, tentu saja remaja.
Sangat disayangkan pada fase usia ini mereka
justru mendapat pelabelan yang kurang tepat, yang tentu saja sangat berpengaruh
pada perkembangan mentalnya. Mereka dibilang ‘nakal’, ‘tidak bisa diatur’, ‘selalu
membuat masalah’ dan lain sebagainya yang menurut saya pelabelan itu lah yang
sebenarnya menggerakkan mereka untuk berbuat sesuai pelabelan mereka. Sebagai
contoh pelabelan, Jika mereka lemah di pelajaran matematika dan bahasa Inggris
apakah mereka “bodoh”?
Melalui konsep “Manufacturing Hope” ini, saya terinspirasi untuk menghilangkan
label-label yang terlanjur menempel tersebut. Bahwa ada dua cara untuk bisa
memperbaiki keadaan yang terlanjur kurang tepat, yaitu dengan memarahi atau memberi
motivasi. Kalau selama ini dengan menerapkan cara memarahi belum juga bisa merubah
keadaan menjadi lebih baik, mengapa tidak mencoba cara yang kedua? Sebab memarahi
dan mengadili secara sepihak bukanlah solusi, justru berkecenderungan untuk
memunculkan masalah-masalah baru.
Mereka, anak-anakku, sebenarnya hanya butuh didengarkan.
Terima meraka apa adanya, lalu dengarkan semua yang mereka ceritakan, sekali
lagi jangan terburu menghakimi mereka. Pengalaman saya, dengan mau mendengarkan
dan menerima perasaan-perasaan mereka insyaAllah menjadi lebih mudah juga
mereka menerima masukan dari kita. Dari sini kita bisa memulai dengan membesarkan
hati mereka bahwa setiap individu itu unik, diciptakan dengan kekurangan dan
kelebihannya masing-masing. Lalu tanyakan kepada mereka tentang apa yang paling
mereka sukai, saya bertanya:
“Wildan,
kamu suka basket?”, “iya, Bu. Suka sekali..”, “Baik, saya tunggu kamu jadi atlet
basket Nasional”
“Bagus,
apa cita-citamu?”, “Pengen menjadi guru, Bu”, “Oke, saya tunggu kamu ada di
Kementrian pendidikan dan kebudayaan dengan gagasan-gagasanmu tentang
pendidikan yang lebih memanusiakan manusia!”
Kenyataannya, dengan cara seperti itu saya
lebih mudah dalam mengendalikan mereka. So, masihkah kita melabeli ‘bodoh’ mereka
yang lemah di pelajaran matematika dan bahasa Inggris namun berpotensi pada
bidang olah raga basket? Sekali lagi dengarkan mereka, ketahui apa keinginannya,
lalu bantu mereka menemukan dan menoptimalkan keunikan kemampuannya -baca bakatnya-
Terima kasih anak-anakku...